Hakikat Ihsan
Oleh M Zaenal Muhyidin
"Engkau mengabdi kepada Allah, seakan-akan engkau melihat Dia, kalau
engkau tidak dapat melihat- Nya maka yakinlah, Dia pasti melihatmu". ( HR. Muslim).
***
Terjemahan hadits diatas merupakan potongan terjemahan hadits tentang
Islam, Iman, Ihsan, dan Tanda-tanda datangnya hari qiamat yang diriwayatkan
oleh imam Muslim.
Lengkapnya terjemahan hadits tersebut adalah sebagai berikut : ”Dari Umar radhiyallahu’anhu,
beliau berkata: Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat
putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari
perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya.
Kemudian ia duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu
mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di
atas kedua pahanya, kemudian berkata: ”Wahai
Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.” Kemudian Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam menjawab: ”Islam
yaitu: hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang haq disembah kecuali Allah
dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Hendaklah engkau mendirikan shalat,
membayar zakat, berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke rumah Allah
jika engkau mampu mengerjakannya.” Orang itu berkata: ”Engkau benar.” Kami
menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya. Orang
itu bertanya lagi: ”Lalu
terangkanlah kepadaku tentang iman”. (Rasulullah Saw) menjawab: ”Hendaklah engkau beriman kepada Allah,
beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir,
dan hendaklah engkau beriman kepada taqdir yang baik dan yang buruk.”Orang
tadi berkata: ”Engkau
benar.” Lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.”
(Beliau) menjawab: “Hendaklah
engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau
tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat
engkau.” Orang itu berkata lagi: ”Beritahukanlah
kepadaku tentang hari kiamat.” (Beliau) mejawab: “Orang yang ditanya tidak lebih tahu
daripada yang bertanya.” Orang itu selanjutnya berkata: ”Beritahukanlah kepadaku
tanda-tandanya.” (Beliau) menjawab: ”Apabila budak melahirkan tuannya, dan engkau melihat
orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba
berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.” Kemudian orang itu
pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi shallallahu
’alaihi wasallam bersabda: ”Wahai
Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?”. Aku
menjawab: ”Allah dan Rasul-Nya
yang lebih mengetahui.” Lalu beliau bersabda: ”Dia itu adalah malaikat Jibril yang
datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim).
Pengertian Ihsan
Secara harfiah Ihsân merupakan bentuk masdar dari kata ahsana-yuhsinu-ihsân.
Bentuk masdar Ihsân ini
sama dengan bentuk masdar kata Islâm dan
Îmân yang berasal dari kata aslama-yuslimu-islâm dan amana-yuminu-îmân.
Secara istilah dan maknanya juga ketiga kata ini sama yaitu
sebagai pilar utama agama Islam. Begitu inti dari hadits tersebut. Apabila salahsatunya hilang dari ketiga pilar
ini maka tidaklah bisa dikatakan Islam sebagai agama itu sempurna. Kesempurnaan
Islam sebagai agama karena ketiga pilar ini. Islam sebagai pilar utama ajaran Islam
dalam hal syariat (lahir). Iman sebagai pilar utama ajaran Islam dalam hal
tauhid (batin). Dan Ihsan sebagai pilar utama ajaran Islam dalam hal Akhlaq
(moral) yang mencakup Islam dan Iman. Begitu juga bagi pemeluknya, belum bisa
dikatakan muslim, mu’min, dan muhsin yang sempurna apabila
diantara ketiga pilar tersebut belum atau tidak ada padanya.
Turunan kata Ihsân (kebaikan)
bisa berbentuk hasan (baik), ahsan (lebih baik), hasanah (baik), dan muhsin (yang berbuat
baik). Oleh karena itu, kata ihsân bisa berarti baik, kebaikan,
kebajikan, atau orang yang berbuat baik.
Kalau begitu, apa bedanya dengan khayyr yang mempunyai arti sama
dengan ihsân yaitu baik?
Walaupun sama artinya yaitu baik, ihsân lebih halus kebaikannya.
Lebih berkualitas kebaikannya. Dan lebih luas akan makna dan fungsinya. Hal ini
sama dengan kata basyar dan insân yang mempunyai arti sama
sebagai manusia. Tapi manusia yang paling bagus sikap dan tutur katanya, manusia
yang berkualitas, manusia yang istqamah
dan luas pengetahuannya, itulah disebut
insân. Akan tetapi manusia
yang bodoh, terebelakang, sempit pemikiranya, bahkan suka berbuat kerusakan
maka dia pantas disebut sebagai basyar
bukan insân. Di dalam Al-Quran pun lebih banyak kata-kata ihsân
daripada khayyr. Begitu juga lebih banyak kata insân daripada
kata basyar. Ini menunjukkan bahwa Ihsân lebih dari apa-apanya
dibanding dengan kata khayyr.
Ulama tasawuf seperti dikatakan al-Kaslani dalam Mu'jamul Istilâhat As Sufiyah
hal 286 mengartikan kata ihsân ke dalam dua pengertian. Pertama, ihsân
merupakan pemahaman sebagaimana bunyi hadits di atas. Kedua, ihsân diartikan
sebagai penglihatan diri Allah Swt.
kepada hamba-Nya dan penglihatan diri hamba kepada Allah Swt. Hal ini
dapat kita contohkan seperti sebuah cermin dimana kita dapat melihat diri kita
melalui cermin tersebut. Orang yang berbuat baik (muhsin) adalah orang
yang dapat melihat Allah Swt baik melalui zat (nanti di hari qiamat) maupun
sifat-Nya dan apabila tidak bisa melihat-Nya maka yakinlah Allah Swt.
melihatnya. Maka, muraqabah yaitu perasaan diri diawasi oleh Allah Swt.
dalam segala hal merupakan hal penting dan utama untuk dilakukan oleh seorang
sufi. Kenapa hal ini penting, karena muraqabah merupakan ihsân itu
sendiri.
Almarhum Nurcholis Madjid (Cak Nur) dalam ”Kontekstualisasi Doktrin Islam
Dalam Sejarah”, mengartikan ihsân sebagai ajaran tentang penghayatan
pekat akan hadirnya Tuhan dalam hidup. Melalui
penghayatan diri sebagai hamba yang sedang menghadap dan
berada di depan hadirat-Nya ketika beribadah. Ihsân adalah
pendidikan atau latihan untuk mencapai puncak kemanusiaan dalam arti
sesungguhnya. Ihsân
menjadi puncak tertinggi keagamaan manusia. Makna ihsân lebih meliputi daripada iman, dan karena
itu, pelakunya adalah lebih khusus daripada
pelaku iman, sebagaimana
iman lebih meliputi daripada
Islam, sehingga pelaku iman lebih khusus daripada
pelaku Islam. Sebab
dalam Ihsân sudah terkandung iman
dan Islam, sebagaimana
dalam iman sudah terkandung Islam.
Hakikat Ihsan
Hakikat Ihsân dapat
berbeda-beda sesuai dengan konteks pembicaraannya. Apabila dalam konteks
pembicaraan ibadah maka hakikat Ihsân dalam ibadah seperti telah
dijelaskan pada hadits diatas. Apabila dalam konteks pembicaraan muamalah dengan
sesama maka hakikat Ihsân adalah menunaikan hak-hak sesama dan tidak
menzhaliminya. Karena wujud sesama berbeda-beda, maka bentuk ihsannya pun
berbeda-beda sesuai dengan keadaannya masing-masing.
Allah SWT telah mewajibkan agar berbuat Ihsân (kebaikan)
dalam setiap hal dan menjadikannya sebagai suatu prinsip dari beberapa prinsip
yang diserukan-Nya sebagaimana firman Allah Swt.:
”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Dalam hal kesempurnaan Ihsân atau menggapai hakikat Ihsân
setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, meyakini bahwa
segala amal perbuatan yang dilakukan dapat bernilai ihsân apabila
dilandasi dengan niat yang baik dan dilakukan dengan ikhlas. Kedua, melakukan muraqabah yaitu senantiasa
merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah Swt dalam setiap kegiatan yang kita
lakukan. Ketiga, melakukan musyahadah
yaitu senantiasa memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh
aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut.











