ARTIKEL

Sawo Sandi Pangeran Diponegoro

Mengenang Haul ke-135 Pangeran Diponegoro

oleh HM. Zaenal Muhyidin*

Tulisan ini pernah saya upload di medsos baik itu akun pribadi, grup dan media online sekira bulan Agustus 2020. Tepatnya pasca PKPNU Angkatan ke-1 di Cikijing Kab. Majalengka.

Bulan Januari 2021 ini sengaja saya upload kembali karena bertepatan dengan Haulnya beliau ke-135 (8 Januari 1885 - 8 Januari 2021). 

Ada dua alasan penting, kenapa tulisan ini saya upload kembali, pertama sebagai bentuk “pengingat” kita semua sebagai generasi pelanjut bangsa ini agar tidak melupakan sejarah (jasmerah), terlebih tokoh pendiri bangsa, ulama, dan wali. Kedua sebagai bentuk syukur kita kepada Allah swt yang telah memberikan kemerdekaan melalui perjuangan seluruh komponen bangsa salahsatunya Pangeran Diponegoro. Dari perjuangan beliau diteruskan oleh Hadratussyeikh KH. Mohamad Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri dan para ulama lainya dengan mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).

Selepas shalat Ashar berjamaah, Senin (24/08/20), santriwan/wati pondok pesantren Al-Mizan menyaksikan penanaman pohon Sawo di belakang sebelahkanan masjid (depan sebelah kanan pangimaman).

Diawali dengan Tawasul kepada Nabi Muhammad SAW, dzurriyah, para sahabat, tabi’in, para aulia dan ulama, juga kepada Sultan Abdulhamid Herukuco/Rd. Mas Ontowiryo atau yang sering kenal Pangeran Diponegoro, dan Muasis NU seperti mbah Kholil, mbah Hasyim Asy’ari, mbah Wahab dst. 

Penanaman pohon Sawo ini ditanam langsung oleh Khaadimul Ma’had sekaligus Kader PKPNU PCNU Majalengka Angkatan 1, HM. Zaenal Muhyidin, disusul Kyai Sholihin, Kyai Herman, dan para Kader yang lain. Sambil menanam para santri membaca shalawat Imam Bushiri, shalawat Badar, dan shalawat An Nahdliyyah.

Penanaman ini, selain melaksanakan Amanah PKPNU, juga Taqorruban Ilallah, serta melestarikan linglungan yang hijau dan lestari.

Sawo: Simbol Santri dan Jaringan Dipenegoro

Sewaktu kecil sekira usia 6-7 tahun saya pernah jatuh dari pohon sawo yang ada di samping kanan masjid di kampung halamanku. Jatuhnya dari pohon ini karena tidak hati-hati memegang ranting yang kering. Usia segitu belum bisa membedakan mana ranting basah dan mana ranting kering.

Saya tidak menyesal jatuh dari pohon Sawo tapi hanya sakit pinggang saja. Apalagi pohon Sawo itu ternyata sangat bersejarah dan menyimpan palsafah dan simbol.

Saat ini pohon sawo itu telah tiada, seiring tanah kosong pinggir masjid itu diarug karena sebelumnya kolam. Saya juga tidak tahu, kenapa pohon itu ada/ditanam disamping masjid dan kenapa juga akhirnya ditebang, karena selesai SD saya tidak di kampung halaman lagi. Saya mulai mengelana mencari ilmu alias mondok dari pesantren ke pesantren. Pulang ke rumah hanya 6 bln sampai setahun sekali. Oleh karena itu, penanaman ini juga saya maksudkan sebagai pengganti pohon sawo di kampung halamanku.

Saya hanya meraba-raba saja jawabannya (mudah-mudahan saja benar. Aamiin).

Mungkin saja salah satu nenek moyangku masih ada hubunganya dengan Pangeran Diponegoro. Karena dilihat dari nama Bapak, Aki, Uyut, Jangkawareng, Udeg-udeg, semuanya pake Rd. Mas di depanya. Allaahu Yarhamuhum; Rd. Mas Sjarif Hidajat bin Rd. Mas Judamanggala bin Rd.Mas Pani Martamanggala bin Rd.Mas Jaja Manggala (dalam tulisan ini huruf “J” dibaca “Y”). Tapi menurut info keluargaku katanya karuhunku dari Mataram, tapi ada juga yg bilang dari Demak. Bagi saya yang mana saja tidak apa” yang penting keturunan orang shaleh dan melahirkan orang-orang shaleh ila yaumil qiyamah. aamiin.

Falsafah Sawo

Falsafah pohon Sawo, sebagaimana dijelaskan Kyai Mun’im dalam bukunya, “Fragmen Sejarah NU Menyambung Akar Budaya Nusantara”, adalah pesan dari Pangeran Diponegoro kepada Kyai Badrudin dan kepada kyai lainya seperti Kyai Basah Mintaraga, Kyai Kasan Besari, dan Kyai Maderan agar segera menanam pohon Sawo.

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa akibat kekalahannya dalam perang dengan Pangeran Diponegoro, beberapa kali Belanda meminta berunding untuk damai. Tapi oleh Diponegoro ditolaknya. Menurutnya menerima perundingan berarti menerima kehadiran Belanda sebagai penjajah. Pihak Belanda melakukan segala cara untuk bertemu dan berunding dengan Diponegoro termasuk meminta bantuan kepada para raja dan kyai. Akhirnya, persis di hari Idul Fitri Pangeran Diponegoro mau menerima tawaran Belanda tapi bukan untuk berunding akan tetapi bersilaturrahim karena momen lebaran. Selain itu syarat yang diajukan Pangeran Diponegoro adalah pihak Belanda tidak boleh membawa senjata. Pihak Belanda menyetujuinya. Akan tetapi di hari pertemuan pihak Belanda mengingkari janjinya. Bahkan pihak Belanda selain membawa senjata lengkap juga pasukannya. Akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap. Karena Pangeran Diponegoro seorang yang waskita maka dihadapinya dengan tenang dan tidak melakukan perlawanan. Dalam keadaan tenang itulah Pangeran Diponegoro membisikkan pesan terakhir kepada kyai Badrudin untuk segera menanam pohon Sawo. Kemudian kyai Badrudin menyampaikanya kepada para kyai lainya. Para kyai tersebut merupakan para kyai yang mempunyai kelebihan, linuih, atau karomah. Kemudian para kyai menanamnya di depan pesantren dan Masjid sebagai Sandi bagi lasykar Diponegoro untuk terus melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda.

Sawo=Sawwu=Rapatkan Barisan!

Masih dalam buku tersebut, Kyai Mun’im, menjelaskan bahwa Sawo berasal dari bahasa Arab, Sawwu Shufuufakum (luruskan/rapatkan barisan). Hal ini sesuai dengan pepatah, “Sawwuu Shufuufakum fainna Tashwiyatashufuufi min Tamaamil Harakah” (rapatkan barisan karena merapatkan barisan prasyarat bagi suksesnya perjuangan). Perintah ini menyebar ke berbagai pelosok dan pesantren. Sehingga dalam waktu singkat pohon Sawo telah ditanam di pesantren” dan masjid mulai dari Banten, Magelang hingga Banyuwangi. Bahkan di Bali dan Lampung terdapat pusat perlawananan yang sama. Pohon sawo yang ditanam itu ada dua macam yaitu Sawo kecik (kecil dan kemerahan) dan sawo manila (buahnya besar dan warna coklat muda). Dengan adanya sandi maka para pejuang lebih mudah untuk melakukan perlawanan karena bisa berlindung di setiap pesantren yang terdapat pohon sawo.

Menanam Sawo, sebagaimana dijelaskan dalam buku tersebut adalah sebagai bentuk Perlawanan kepada penjajah Belanda.

Zainul Milal dalam bukunya “Masterpice Islam Nusantara”, mengungkapkan, pengikut Diponegoro terdiri dari berbagai kalangan termasuk para ulama dan kiai. Rinciannya, 108 kiai, 31 haji, 15 syekh, 12 penghulu, serta 4 kiai guru.

Dunia orang Jawa kan penuh perlambang atau isyarat. Pohon sawo tampaknya digunakan sebagai ‘perlambang’ (isyarat) dari perintah untuk taat meluruskan shaf ketika hendak shalat: sawwu shufufakum (luruskan shafmu)’ kata peneliti dunia pesantren di kawasan selatan Jawa, Ahmad Khoirul Fahmi. Sedangkan sawo kecik itu dmemberi pesan setelah meluruskan shaf (bersatu membentuk jaringan) jadilah orang yang ‘becik’ (baik).

Namun sejarawan asal Inggris yang menekuni sejarah Pangeran Diponegoro, Peter Carey menyebut, sebenarnya laskar Pangeran Diponegoro terdiri dari berbagai elemen. Di pasukan ada pasukan militer, pasukan juga terdiri dari kyai dan ulama yang tidak memiliki kemampuan ilmu kanuragan.

Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 syeikh, 12 penghulu Yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro.

Semoga penanaman pohon Sawo ini membawa BERKAH buat kita semuanya, khususnya saya, keluarga, Al-Mizan, NU dan Bangsa. Aamiin.


*) Penulis adalah Peserta PKPNU Angkatan 1 dan Ketua NU Care-LazisNU Kab. Majalengka

PPDB Online 2024/2025

Pengunjung

NU Care - LazisNU

NU Care-LAZISNU Majalengka Salurkan 1000 Al-Qur’an dan Majmu Maulid Nabi ke Kampung-kampung

Kontak

Alamat :

Jl. Raya Timur No.1/456 Desa Ciborelang, Kec. Jatiwangi

Telepon :

0233884283 - -

Fax :

-

Email :

smaunggulanalmizan@gmail.com

Website :

https://www.smaunggulanalmizan.sch.id/

Media Sosial :

Absensi Online Guru