
MEMBANGUN KHAERU UMMAH
Oleh M Zaenal Muhyidin, S.Ag.[*]
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Dan demikian
(pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami
tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.
dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
(QS al-Baqarah [2]: 143).
Sebab turun
Asy-Syaukani dalam Fath al-Qadîr, Vol 1 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 191-192, menjelaskan : Dari Ahmad, Abdun bin
Humaid, at-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Hibban, ath-Thabarani,
dan al-Hakim yang mensahihkannya, dari Ibnu Abbas: Ketika Rasulullah Saw
menghadap ke arah kiblat (Ka‘bah), mereka bertanya, “Wahai Rasulullah,
bagaimana dengan orang-orang yang telah mati, sementara semasa hidupnya mereka
shalat menghadap Baitul Maqdis.” Lalu turunlah firman Allah Swt.: Wamâ kânallâh liyudhî’a îmânakum.
Menurut Al-Qurthubi dan
az-Zuhaili, para ulama sepakat bahwa ayat ini turun untuk menjelaskan status orang
yang mati yang waktu hidupnya mereka masih shalat menghadap Baitul Maqdis,
sebagaimana diriwayatkan al-Bukhari dari al-Barra’ bin ‘Azib dalam al-Qurthubi,
Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), 1993;
al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1 (Berut: Dar al-Fikr, 1991), 11.
Tafsir
Ayat
Menurut Nizhamuddin
an-Naisaburi dalam Tafsîr Gharâ’ib
al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 420, huruf al-kâf
dalam ayat Wakadzâlika
ja‘alnâkum ummatan wasathan (Demikian pula Kami telah menjadikan kalian
sebagai umat yang adil dan pilihan) berfungsi li tasybîh (untuk menyatakan keserupaan). Ketika diletakkan pada ism al-isyârah (dzâlika), keserupaan itu
merujuk pada ayat sebelumnya. Dengan demikian, kata tersebut memberikan makna:
Sebagaimana Kami telah memberikan nikmat kepada kalian berupa hidayah atau Kami
telah menunjukkan kalian pada awsath
al-qiblah (kiblat terbaik), Kami juga menjadikan kalian sebagai ummatan wasathan.
Dalam ayat tersebut
terdapat kata ummah (أُمَّةٌ) dan kata washatan (….). Kata ummah merupakan
bentuk tunggal dan umam (أُمَمٌ) adalah bentuk jamaknya. Kata itu berasal
dari kata amma-ya’ummu (أَمَّ يَؤُمُّ) yang berarti “menuju, menjadi, ikutan dan
gerakan”. Secara leksikal kata ummah (أُمَّةٌ) mengandung beberapa arti, antara lain: 1)
suatu golongan manusia, 2) setiap kelompok manusia yang dinisbatkan kepada
seorang nabi, misalnya umat Nabi Muhammad Saw, umat Nabi Musa As, dan 3) setiap
generasi manusia yang menjadi umat yang satu (ummatan wahidah).
Sedangkan kata wasath atau awsath bermakna khiyâr (terbaik
atau pilihan). Sebagian muffasir
seperti Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1995), 197 menjelaskan bahwa ayat
ini pun bermakna khiyâr. Status
sebagai umat pilihan atau umat terbaik yang diberikan kepada Islam ini tentu
tidak terlepas daripada risalah yang dibawa oleh Rasulullâh Muhammad Saw
sebagai risalah yang berfungsi untuk menyempurnakan risalah-risalah sebelumnya.
Hal ini selaras dengan diutusnya Muhammad ke muka bumi ini yaitu untuk itmam (menyempurnakan), Inama
Bu’itstu li’uttammima makârim al-Akhlâq bukan untuk merusak.
Ibnu Katsir menyatakan,
ketika umat ini dijadikan sebagai ummatan
wasathan, Allah mengkhususkan mereka dengan syariah paling sempurna, manhaj
paling lurus, dan madzhab paling jelas. Oleh karena itu, status mulia itu dapat
disandang apabila mereka menjalankan dan mengemban risalah tersebut. Makna ini
juga sejalan dengan firman Allah Swt.:
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ
Kalian adalah umat terbaik
yang dilahirkan untuk manusia; melaksanakan amar makruf nahi mungkar dan
beriman kepada Allah. (QS Ali Imran [3]: 110).
Islam sebagai agama yang
ideal, manhaj yang lurus, dan risalah yang sempurna, sudah barang tentu mempunyai
nilai-nilai yang mulia dan luhur juga --yang harus dijunjung tinggi dan menjadi
modal bagi pemeluknya untuk kehidupan sehari-hari, seperti bersikap ‘adil,
jujur, saling menghargai dan menghormati, dan moderat. Tapi kenyataanya, kenapa
saat ini masih ada umat Muhammad yang justru mereduksi/menciderai/mengurangi
keluhuran nilai-nilai Islam tersebut?
Di dalam al-Quran
istilah-istilah untuk menggambarkan umat Islam sebagai umat ideal, umat
terbaik, dan umat pilihan, selain dalam
surah Ali Imran [3]: 110 sebagai khaira
ummah (خَيْرَ
أُمَّةٍ), surah al-Baqarah [2]: 143 sebagai umatan wasathan (أُمَّةً وَسَطًا) dapat dibaca juga dalam surah al-Baqarah
[2]: 128 sebagai Ummatan muslimah (أُمَّةً مُسْلِمَةً), Surah
al-Ma’idah [5]: 66). sebagai Ummatan muqtashidah (أُمَّةً
مُقْتَصِدَةً)
umat yang berlaku jujur.
Prinsip dasar
ummat terbaik
Identitas umat atau msyarakat terbaik, ideal, dan sempurna, akan tercermin
pada sikap dan tingkah laku ummatnya dalam segala bidang. Sumbernya dapat
berasal dari berbagai kebudaayaan yang teralkulturasi dan dapat juga dari
ajaran yang telah terumus dengan sempurna. Proses pembentukannya pun dapat
terjadi secara alamiah dan berlangsung dalam waktu yang lama atau melalui upaya
penanaman yang dilakukan secara terus menerus dan dapat terbentuk dalam waktu
yang relative singkat. Untuk itu perlu dipilih beberapa prinsip yang dapat
dijadikan dasar bagi proses awal pembentukan identitas dan sebagai landasan
untuk pembinaan masyarakat yang terbaik atau masyarakat yang ideal.
Prinsip-prinsip dasar ummat
ideal atau terbaik (mabadi khaira ummah) telah
dihasilkan dalam Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung tahun 1992 yang dikenal
dengan nama “al-Mabadiul Khamsah li
mabadi khaira ummah” yang artinya lima butir prinsip dasar untuk umat terbaik
atau lima kriteria dasar umat terbaik.
Kelima kriteria atau
prinsip dasar umat terbaik tersebut adalah 1) Ash-Shidqu, mengandung arti kejujuran/kebenaran, kesungguhan,
keterbukaan. Kejujuran/kebenaran adalah satu kata dengan perbuatan. Kejujuran
meliputi ucapan, perbuatan, dan sikap yang ada di dalamnya. Landasan prinsip
dasar pertama ini adalah Al-Quran surah at-Taubah ayat 119 dan al-Baqarah ayat
177; 2) Al-Amanah wal-Wafa bil-‘Ahdi,
mengandung arti dapat dipercaya, setia, dan tepat janji. Landasan prinsip kedua
ini adalah al-Quran surah an-Nisa ayat 58 dan
Selain itu, prinsip-prinsip
umat ideal atau terbaik adalah umat
yang senantiasa menyeru manusia kepada perbuatan ma’ruf (terpuji) dan
mencegah dari perbuatan munkar (tercela), seperti dinyatakan dalam Surah
Ali ‘Imran [3: 110 dan tidak bercerai-berai dan berselisih satu sama lainnya
setelah datang keterangan yang jelas kepada mereka (QS. Ali ‘Imran [3]: 105).